KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA



KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA

 Di susun guna memenuhi tugas
Mata Pelajaran PKN

Oleh:

TURAICHAN AJHURI
XI SOS-1
33




KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah yang maha megetahui dan maha bijaksana yang telah member petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-Nya. Salawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang membimbing umat nya degan suri tauladan-Nya yang baik .                                                                                                                                              
Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan anugrah,kesempatan dan pemikiran kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini . makanlah ini merupakan pengetahuan tentang KASUS HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS KORUPSI , semua ini di rangkup dalam makalah ini , agar pemahaman terhadap permasalahan lebih mudah di pahami dan lebih singkat dan akurat .

Sistematika makalah ini dimulai dari pengantar yang merupakan apersepsi atas materi yang telah dan akan dibahas dalam bab tersebut .Selanjutnya, Pembaca akan masuk pada inti pembahasaan dan di akhiri dengan kesimpulan, saran dan makalah ini. Diharapkan pembaca dapat mengkaji berbagai permasalahan tentang KASUS HAK ASASI MANUSIA DAN KASUS KORUPSI Akhirnya, kami penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini.
 Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum semmpurna untuk menjadi lebuh sempurna lagi saya membutuhkan kritik dan saran dari pihak lain untuk membagikannya kkepada saya demi memperbaiki kekurangan pada makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat bagi anda semua.
Terimakasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



BAB I
PENDAHULUAN

            Jika kita bicarakan mengenai Hak Asasi Manusia maka yang telah kita ketahui terlebih dahulu  yaitu hak pokok atauu hak dasar yang telah di bawa oleh manusia sejak lahir dan secara kodrat  melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan anugrah Tuhan Yanng Maha Esa yang harus senantiasa kita syukuri.
            Begitu pula apabila kita bicarakan mengenai korupsi yang dewasa ini kasus-kasusnya banyak terjadi  di Negri ini yang semakin merajalela dann  menarik untuk diperbincangkan. Dan korupsi merupakann penyakit masyarakat yang sangat membahayakan karena dapat mengakibatkan terhambatnya kelancaran pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
            Dan melihatt ketersediaan orang-orang berpangkat di Negri ini yang tidak melihat ke bawah atau memandang masyarakat kecil yang terus-mennerus menerimma akibat dari ulah mereka.
            Kami menerakan berbagai contoh kasus Hak Asasi Manusia dan kasus Korupsi yang pernah terjadi di negri kita Indonesia.
            Makalah ini kami terakan dengann penulisah yang komunikatif yang sesuai dengan bahasa para pelajar.
Makalahh ini meliputi:
·        Kata Pengantar
·        Daftar Isi
·        Bab I Pendahuluan
·        Bab II Contohh kasus
·        Bab III Penutup
·        Daftar Pustaka



BAB II
CONTOH KASUS
1.      PERISTIWA TANJUNG PRIOK 1984 - BETAWI vs JAWA

Kronologi Tragedi Tanjung Priok Berdarah 1984 oleh Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani

            Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984

Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984 Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984

Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984

Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.

Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya

2.      PEMBREDALAN MAJJALAH TEMPO, DETIK DAN EDITOR 21 JUNNI 1994


Perlawanan Itu Akan Terus Berlanjut

"Yang kami peringati bukan pembredelan, tapi perlawanan terhadap pembredelan, dan itu akan kami teruskan," Goenawan Mohamad 

            Tanggal 21 Juni merupakan tanggal bersejarah bagi pers Indonesia. Pada tanggal itutahun, 1994, tiga media massa cetak ibu kota dibredel sekaligus. Yang menjadi korban adalah TEMPO, Detik, dan Editor. Dan ketiga media itu seperti menambah daftar korban pembredelan selama Orde Baru. Tercatat, sejak 1968, sudah lebih dari 25 media massa dicabut Surat Ijin Terbit (SIT) atau Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya tanpa melalui proses pengadilan seperti disyaratkan undang-undang pokok pers. Dan selama hampir 30 tahun itu, baru Majalah TEMPO yang mengadukan nasibnya ke pengadilan. Di tingkat pertama dan kedua TEMPO menang, tapi Mahkamah Agung mengalahkan TEMPO -- dengan pertimbangan hukum yang sering ditulis pakar hukum sebagai salah satu yang "terburuk" dalam sejarah MA.


Pelarangan terbit majalah Tempo pada 1994 (bersama dengan Tabloid Editor (tabloid) dan Tabloid Detik (tabloid)), tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman. Laporan ini dianggap membahayakan "stabilitas negara". Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan yang kecewa pada sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyetujui pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia.





3.      PEMBANTAIAN TERHADAP  TENGKU BANTAQIYAH DAN MURIDNYA DI ACEH TAHUN 1999
Beutong Ateuh, dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Betung atas, memiliki sejarah yang cukup panjang, dimana daeraha ini dibangun sejak zaman belanda-begitu orang beutong bersaksi – dan melihat letak geografisnya sangat nyaman untuk istirahat beberapa bulan lamanya. Daerah yang terletak diantara dua gunung ini mengalir sungi betung yang jernih dan sejuk. Sedangkan pegunungan yang termasuk dari gususan bukit barisan ini, memang sangat potensial untuk dijadikan markas pertanan pejuang Aceh semasa penjajahan belanda. Di daerah inilah Cut Nyak Dien dan Tengku Cik Citiro pernah bertahan dari kejaran belanda, walau keduanya tertangkap oleh belanda di daerah ini. Lebatnya hutan dan suburnya tanah membuat warga yang bermukim enggan meninggalkan lembah ini, mengingat di daerah ini adalah daerh yang cocok untuk bercocok tanam. Sebelum daerah ini dibuka pada tahun 1996, untuk kendaraan roda empat, warga yang ingin kedalam dan keluar desa ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya. Menelusuri hutan lembah berliku guna mencapai daerah yang berbatasan dengan Takengon Aceh Tengah. Sedangkan Beutong Ateuh sendiri masuk dalam kabupaten Aceh Barat, Meulaboh sebagai kota kabupaten.
Pada daerah inilah brdiri sebuah pesantren pada tahun 1982 yang dipimpin oleh seorang Kyai bernama Tengku Bantaqiah. Abu Bantaqiyah – begitu para mudirnya memanggil – aladalah seorang alim ulama yang segani dan dihormati keberadaanya. Tak heran bila dikalangan masyarakat Aceh sendiri beliau ditokohkan, mengingat begitu banyak masyarakat Aceh yang belajar agama di pesanteren yang ia pimpin. Mudir-muridnya yang berasal dari pelosok daerah Aceh ini, diajrkan pendidikan agama langsung dari beliau dan dibantu oleh seorang kepercayaannya. Aktivitas belajar mengajar dilakukan pada areal yang ia miliki yang berada ditepi sungai beutong. Murid-murid yang berjumlah ratusan ini, selain beljar mereka bercocok tanam seperti nila dan lain sebaginya. Dari hasil pertanian ini mereka bahu membantu untuk menghidupkan aktivitas sehari-harinya. Selin murid-murid menetap di pesantern ini, masih ada lagi murid-murid yang tinggal hanya pada saat mereka beribur dari kerja atau sekolah dan jumlah lebih banyak daripada yang menetap (jumlahnya dalah gitungan ribuan). Tak heran bila banyak murid-murid beliau yang tersebar di segenap penjuru Aceh.


Tengku Bantaqiah yang pernah menolak untuk bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia cabang Aceh ini, sekali waktu turung gunung untuk mempersoalkan kemaksiatan di Aceh, dan akhirnya ia dituduh sebagai orang yang memiliki ajaran sesat. Hal ini beliau lakukan pada tahun 1988 dengan beberapa anak muridnya dengan menamakan dirinya Anggota Jubah Putih. Untuk melunakkan hatinya pemerintah daerah Aceh melalui gubernur memberikan bantuan guna membangun sebuah pesantren. Namun rumah pesantren ini, gedung yang sudah terbangun di kecamatan beutong bawah ulu Ulee Jalan, mereka tolak karena lokasinya jauh dari tempat pesantren mereka. Dengan menolak pemberian ini, Tengku Bantaqiah menjadi orang yang sangat tidak sekuler dikalangan birokrat Aceh pada waktu itu. Sehingga pada tahun 1992 dengan suruhan sebagai Mentri Urusan Pangan Cerakan Aceh Merdeka, beliau dijebloskan dalam tahanan dengan masa tahanan 20 tahun lamanya. Namun saat presiden ke tiga Indonesia (BJ Habibie) hadir di Banda Aceh, atas permintaan warga masyarakat Aceh, Habibie melepaskan Tengku Bantaqiah.
Aktivitas Pesantren
Sebagaimana layaknya kehidupan sebuah pesantren, aktivitas di pesantren Tengku Bantaqiah sangat diwarnai dengan suasana Religius yang sangat mendalam. Hal ini dapat terlihat dari aktivitas sehari-hari mulai dari ibadah sholat Shubuh dipgi hari dilanjutkan degan Szikir kemudian para santri bermujahadah sambil melakukan kegiatan-kegiatan lainnya seperti bertani, bercocok tanam, kerja baktimeperbaiki lingkungan sekitarnya. Kegiatan bermujahadah bagi pesantern Tengku Bantaqiah adalah merupakan satu kekuatan religius yang sangat vital dalam upaya pembentukan tingkat ketaqwaan para muridnya.
Kalaupun ada yang berbeda dari pesantren ini yaitu terlihat bahwa sebagian besar murid-muridnya adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan amoral di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri dan tindakan-tindakan kriminalisasi lainnya. Menurut Tengku Bataqiah, untuk apa mengajaka orang yang sudah ada didalam mesjid, justru mereka yang masih di luar mesjidlah yang harus kita ajak. Jumlah santri yang pernah menuntut ilmu di pesantren Tengku Bantaqiah ini tercatat lebih kurang 30.000 orang yang tersebar di berbagai tempat, bukan hanya di Aceh, tapi juga Medan , Jakarta , bahwakan sampai ke Malaysia . Lulusan Pesantren Bntaqiah hdup dan bekrja dalam aktivitas-aktivitas yang beragam, mulai petani, pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri, bahkan anggota TNI. Hal ini menunjukkan bahwa Tengku Bantaqiah tidak pandang bulu dalam menerima murid.
Kini setelah ulama kharismatik tersebut telah tiada, pesantren yang diharapkan dapat melahirkan pemimpin umat, untuk sementara ini kesulitan untuk melanjutkan aktivitas sehari-harinya, karena alat-alat Bantu pengajaran seperti, al-qur'an, kitab kuning, surat – surat yassin habis dibakar oleh pasukan tersebut. Hal ini tentara lakukan ersamaan dengan dibakarnya pakian, KTP, dan barang-barang lain milik Tengku dan muridnya yang tewas pada saat itu. Kini tempat yang jauh dari keramaian ini memubat masyarakat Aceh untuk saat ini enggang untjk bergurau kembali di lebah yang hijau ini, mengingat peristiwa tersebut adalah peristiwa yang cukup membuat mereka terluka untuk selama-lamanya.





Kronologi Pembantaian
Tengku Bantaqiah dan Muridnya
  Kamis 22 Juli 99 : Pasukan TNI yang terdiri dari Kostrad, brimob, dan lain sebaginya mendirikan tenda-tenda diseputar pegunungan beutong Ateuh. Saat itu warga desa telah mengetahui akan keberadaan mereka, namun warga tidak mengetahui tujuan dari didirikannya tenda-tenda tersebut. Pada saat itu juga telah terjadi penembakan terhadap warga yang sedang mencari udang. Peristiwa ini mengakibat satu orang terluka sedangkan yang melarikan diri ke hutan sekitarnya.
Jum'at 23 Juli 99 : pukul 08.00 pasukan TNI mengamati pesantren Tengku Bantaqiah dari seberang sungai.
Pukul 09.00 pasukan TNI melakukan pembakaran ruma penduduk yang letaknkya kira2 100 meter disebelah Timur pesantren Tengku bantaqiah.
Pukul 10.00 Pasukan tersebut mulai mendekati pesantren Tengku Bantaqiah.
Pukul 11.00 Pasukan TNI yang berseragam dan mengenakan senjata lengkap dan sebagian dari mereka menutupi wajahnya dengan cat hitam dan hijau. Mulai memasuki wilayah pesantren.
Pukul 11.30 Pasukan tersebut dengan mencaci maki dan menghujat Tengku Bantaqiah agar Tengku Bantaqiah mau segera menemui mereka. Dikarenakan pada waktu itu hari Jum'at dan sudah menjadi kebiasaan di pesantren, para santri - berkumpul di pesantren yang memiliki dua lantai yang terbuat dari papan dan kayu balok tetap melakukan seperti biasanya. Setelah cukup lama tengku Bantaqiah turun bersama dengan seorang muridnya untuk menemui pasukan tersebut. Setelah berbincang-bincang, semua murid/santri laki-laki disuruh turun sedangkan yang wanita diatas pesantren, dikumpulkan ditanah lapang dengan duduk jongkok dan menghadap kesungai.
Pukul 12.00 setelah santri laki-laki berkumpul, pimpinan pasukan tersebut meminta kepada Tengku Bantaqiah untuk menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena Tengku Bantaqiah merasa tidak pernah memiliki senjata yang mereka maksud, maka Tengku Bantaqiah hanya membantah tuduhan tersebut. Namun dengan pengakuan Tengku Bantaqiah tentara tidak puas dan lalu mereka mempersoalkan sebuah antenna radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren. Lalu pompinan pasukan tersebut memerintahkan agar segerap melepaskan antenna tersebut dengah menyuruh putra Tengku Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Sebelum Usman menaiki atap pesantren tersebut ia menuju rumah untuk mengambil peralatan, namun sebelum mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul para santri, seorang pasukan memukul Usman dengan senjata api. Melihat perlakuan ini, Tengku Bantaqiah mencoba untuk mendekati putranya tersebut. Bersamaan dengan mendekatnya tengku Bantaqiah ke tempat pemukulan tersebut, dengan aba-aba tentara menembak Tengku Bantaqiah dengan menggunakan senjata pelontar BOM sehingga tersungkurlah Tengku Bantaqiah, setelah itu tembakan beruntun ditujukan ke arah kumpulan Santri. Tanpa perlawanan sama sekali pasukan ini menembak dengan membabi buta sehingga santri yang jumlahnya mencapi puluhan orang itu tewas dan terluka.
Setelah penembakan yag dilakukan berulang ulang ini, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan disebelah rumah tengku Bantaqiah. Beberapa saat kemudian dengan dalih akan membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka atau tidak sama sekali diangkut dengan menggunakan truk menuju Takengon Aceh Tengah. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan. Ditengah perjalanan menuju takengon tersebut, santri-santri ini pada kilometer 7 diturunkan dan diperintahkan untuk duduk jongkok ditepi jurang. Setelah jongkok satu orang dari para santri ini terjun ke dalam jurang masuk kedalam hutan yang lebat. Mengetwhui salah santri terjun ke jurang santri yang langsung di tembak beruntun oleh pasukan pengalawalan ini.
Pukul 16.00 pasukan dengan memerintahkan warga setempat untuk menguburkan Tengku Bantaqiah dan murid. Sedangkan santri wanita dan istri-istri almarhum dibawa menujua Mushola yang berada diseberang sungai. Setelah penguburan usai, wanita tersebut disuruh kembali ke pesantren.

Keadaan terakhir: pesantren ini sulit untuk dapat melanjutkan aktivitas keshariannya mengingat saran dan prasarana antara lain kitab-kitab berserta Al-qur'an yang tersedia telah habis terbakar bersamaan dengan tewasnya Tengku Bantaqiah beserta sebagian muridnya.
Sebagai akibat penembakan oleh pasukan TNI terhadap warga pesantren tersebut. Dimana mereka……..?
Hasil dari operasi yang dilakukan oleh TNI terhadap pesantren Tengku Bantaqiah ini masih menyisakan berbagai pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab. Sehingga warga Meulaboh atau Aceh Barat menjadi resah. Keresahan ini sangat beralasan sebab bagaimana mungkin seorang ulama ternama dapat dicabut nyawanya oleh TNI tanpa prosedur, apalagi mereka rakyat biasa, tentunya lebih gampang lagi melakukannya. Begitu kira-kira alasan mereka. Dari hasil penelitian warga setempat, masih belum jelas jumlah yang tewas, sebab menurut saksi, masih banyak dari murid-murid Bantaqiah sampai saat ini belum ditemukan makamnya atau keberaaanya. Adapun nama-nama yang tewas dan hilang adalah sebagai berikut :  Korban yang Tewas dan Hilang :
No
Nama
Umur
Alamat
1
Tengku Bantaqiah
54 th
Blang Meurandeh, Beutong Ateuh
2
Usman Bantaqiah
25 th
Sda
3
Zubir
28 th
Sda
4
M. Harun Jalludin
18 th
Sda
5
Muhammadin
40 th
Sda
6
Tarmizi Daud
30 th
Sda
7
M.Amin M.
28 th
Sda
8
M. Amin Baron
25 th
Sda
9
M. Huewin
32 th
Sda
10
Jamalol Ade
27 th
Sda
11
Syamsuar
27 th
Sda
12
Tengku Suhaimi
28 yh
Sda
13
Tengku Muhammadin
40 th
Sda
14
Abdul Wahed
20 th
Sda
15
Saidi
30 th
Sda
16
M. Ali Ben
26 th
Sda
17
Muhammad Janata
24 th
Sda
18
Tengku Munir
35 th
Desa Pusong, Langsa Aceh Timur
19
Latana
24 th
Sda
20
Tengku Kupendi
30 th
Sda
21
Mak Ali
32 th
Sda
22
Tengku Yusuf
32 th
Sda
23
Saifl
22 th
Sda
24
Tengku Daud
30 th
Desa Kuede Gerebak, Idi Aceh Timur
25
Salaiman
24 th
Sda
26
Ridwan
25 th
Sda
27
Iqbar
26 th
Sda
28
Junaidi
23 th
Sda
29
Tulisman
30 th
Ranup Dong Kecamatan Kaway XVI
30
Junaidi
28 th
Sda
31
Azis
30 th
Desa Kuta Balang
32
Amir
32 th
Sda
33
Tengku Zainal Abidin
35 th
Idi Aceh Timur
34
Buchari
26 th
Sda
35
Siabang
29 th
Buloh, Lhokseumawe Aceh Utara
36
Saifullah
26 th
Sda
37
Aidit
28 th
Aceh Selatan
38
Tengku Saimi
35 th
Sda
39
Nurdin
24 th
Julok
40
Bustamin
24 th
Sda
41
Tengku Tamam
35 th
Krueng Mane
42
Tengku Jamin
45 th
Sda
43
Majid
26 th
Desa Geuregok
44
Dedi Muktar
27 th
Sda
45
Iwan
32 th
Matang, Aceh Jeumpa
46
Usman
30 th
Sda
47
Samsul Bahri
28 th
Desa Matang Sijuk
48
Razali
24 th
Menasah Barok Aceh Pidie
49
Nasrul
27 th
Tringgadeng, Aceh Pidie
50
Tengku Zulkarnaen
42 th
Kila, Aceh Pidie
51
Mahdi Ubit
30 th
Kuta Blang
52
Tengku Mursidin
35 th
Babah Rot, Aceh Selatan
53
Tengku Manaf
50 th
Lhok Sukon, Aceh Utara
54
Sayuti
29 th
Kandang Aceh Utara
55
Tengku Sayuti
26 th
Lamno, Kecamatan Jaya Aceh Besar
56
Tengku Sukri
27 th
Menasah Baro Krueng Mane
Sumber data : Keluarga Tengku Bantaqiah.
4.      PEMBBUMIHANGUSAN KOTA  DILI, TIMOR TIIMUR OLEH MILITER INDONESIA DAN MILISI PRO INTEGRASI  20 AGUSTUS 1999

(Catatan tentang kiprah NGO internasional dan lembaga-lembaga  PBB
di Timor Lorosae paska referendum)


"Tidak  ada  rumah  mewah, tidak  ada bar  untuk  minum bir,  tidak ada diskotik, bagaimana mungkin pekerja-pekerja kemanusiaan itu mau menetap di sini", ungkap seorang  ketua adat ketika dimintai komentarnya tentang tidak adanya pelayanan kesehatan oleh NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB di Kec. Alas,  Same.

"Apakah anda memiliki identitas? Apakah  lembaga anda memiliki pengalaman bekerja untuk distribusi bahan makanan di daerah ini? Demikian pertanyaan yang diajukan oleh seorang staf WFP (World Food Programme) ketika seorang staf NGO nasional/lokal  yang telah lama beroperasi di Timor Lorosae menemuinya dikantor untuk melakukan koordinasi distribusi bahan makanan di
Baucau, Timor Lorosae".

               Operasi pembumihangusan Timor Lorosae oleh milisi dan militer Indonesiatelah menimbulkan kerugian yang luar biasa. Mulai dari harta benda hingga jiwa manusia yang melayang akibat operasi pembumihangusan tersebut.  Dalam konteks politik internasional, bisa dikatakan bahwa terjadi keterlambatan tindakan oleh PBB yang saat itu sedang bertugas di Timor Lorosae. Akibat "politik ketidak acuhan" dari komunitas internasional (baca: UNAMET), maka milisi bersama militer Indonesia dengan leluasa melancarkan operasi burning down pasca pengumuman hasil referendum,  4 September 1999. Setelah menjadi korban dalam operasi pembumihangusan oleh milisi dan militer Indonesia, kini Timor Lorosae menghadapi operasi baru yakni "operasi
kemanusiaan".

               Penghancuran Timor Lorosae pasca referendum telah menimbulkan persoalan baru. Walaupun diakui  bahwa terlepas dari semua itu, Timor Lorosae berhasil  mengusir  militer Indonesia dari bumi Lorosae.  Seolah-olah dengan penghancuran  tersebut  telah membuka jalan tol bagi berbagai kelompok untuk "mengoperasikan" program-programnya di Timor Lorosae. Dengan bungkus operasi kemanusiaan, berbagai NGO internasional  maupun  lembaga intergovernmental seakan-seakan berlomba   melakukan programnya di Timor Lorosae.

               Membanjirnya  bantuan kemanusiaan lewat berbagai NGO dan lembaga intergovernmental  di Timor Lorosae pasca referendum, tidak dengan sendirinya berarti mengakhiri  mata rantai penderitaan rakyat. Sebaliknya, dengan membanjirnya  bantuan ini bisa saja menjadi rantai baru  yang akan menjerat rakyat Timor Lorosae dalam ketergantungan abadi.

               Belakangan diketahui bahwa jumlah NGO internasional yang beroperasi di Timor Lorosae diperkirakan sekitar 30-an NGO. Sedangkan lembaga intergovernmental (lembaga-lembaga PBB) yang beroperasi di Timor Lorosae antara lain UNHCR, UNICEF, UNESCO, FAO, WFP (World Food Programme). Sementara NGO nasional  yang beroperasi di Timor Lorosae sekitar 20-an NGO. Kelompok-kelompok kemanusiaan ini  datang dengan berbagai program seperti distribusi makanan, kesehatan, shelter, urusan pengungsi, pembagian benih tanaman  dan berbagai program lainnya.

               Keberadaan semua lembaga ini, seperti dipaparkan diatas menjadi menarik untuk dikaji dalam konteks upaya mengatasi krisis yang terjadi di Timor Lorosae saat ini.  Sebelum tiba pada pembahasan mengenai  berbagai persoalan yang dihadapi NGO dan lembaga intergovernmental  dalam operasi kemanusiaan di Timor Lorosae, terlebih dahulu akan dibahas politik ideologi
bantuan kemanusiaan.

               Politik Bantuan Kemanusiaan. Sejarah mencatat bahwa sangat banyak bantuan kemanusiaan yang didrop dinegara-negara jajahan di Afrika.  Setiap kali ada gejolak baik internal maupun  gejolak eksternal, maka   berbagai kelompok, NGO  ineternasional maupun lembaga-lembaga PBB (UN agency)  dengan caranya masing-masing menceburkan diri dalam konflik tersebut dengan "bungkus operasi kemanusiaan".  Di Mozambique, di Angola, di Rwanda, Somalia dan berbagai negara  di benua hitam tersebut paling sering menjadi target  operasi kemanusiaan karena sering dilanda konflik. Walaupun   bantuan kemanusiaan membanjiri  wilayah-wilayah tersebut, namun angka kematian karena kelaparan dan penyakit tidak semakin mengecil. Tapi sebaliknya, angka kematian karena kelaparan dan  penyakit justru semakin  meningkat.

               Bantuan kemanusiaan lewat  NGO maupun  lembaga PBB sering menjadi persoalan tersendiri bagi kelompok masyarakat yang diberi bantuan. Ada beberapa persoalan menyangkut bantuan kemananusiaan tersebut.

               Pertama, persoalan transparansi dana. Kebanyakan NGO internasional memanfaatkan dana bantuan  untuk pemerintah yang dilanda bencana guna menjalankan program-program mereka.     Hal ini terjadi misalnya di Mozambique. Pada tahun 1989, ketika Mozambique dilanda kelaparan akibat konflik, berbagai NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB melancarkan operasi kemanusiaan.  Dana terbesar dari operasi NGO dan  lembaga PBB itu kebanyakan diambil dari bantuan/grant yang semestinya  dipakai sendiri oleh pemerintah Mozambique saat itu.

               Kedua adalah persoalan ketergantungan.  Bangladesh adalah satu kasus yang sangat baik sebagai gambaran mengenai persoalan ketergantungan akibat operasi kemanusiaan oleh NGO internasional dan  lembaga-lembaga PBB. Masyarakat seolah-olah dimanjakan dengan  bantuan kemanusian.  Karena itu setelah berhentinya bantuan tersebut, masyarakat seolah-olah kaget dan tidak siap menghadapi kenyataan. Selain itu, operasi bantuan kemanusiaan tersebut tidak jarang memarjinalkan rakyat karena penyaluran bantuan tersebut justru hanya  menggemukan  kelompok kaya baru baik di desa maupun di kota. Sementara kelompok marjinal semakin termarjinal karena ketergantungan  kepada  orang kaya baru .

               Ketiga adalah persoalan minimya koordinasi. Banyak NGO internasional  dan lembaga PBB yang melakukan operasi di berbagai tempat  dengan tingkat koordinasi dengan kelompok lokal yang sangat minim.  Akibat minimnya koordinasi tersebut menimbulkan kesan seolah-olah kelompok NGO lokal/nasional  atau kelompok potensial lainnya yang berada di tingkat lokal/nasional  menjadi "kelas dua". Bahkan  untuk menjalankan program-programnya, NGO-NGO lokal  terpaksa harus menjadi "pengemis" kepada NGO internasional ataupun lembaga-lembaga PBB yang notabene  sebagian besar memakai dana bantuan untuk pemerintah  yang dilanda "bencana" tersebut. Pada titik ini, kelihatannya  pemerintahan-pemerintahan yang menjadi donor ataupun  lembaga-lembaga donor dunia  merasa  lebih tertarik untuk memakai NGO internasional  yang mempunyai jalinan kerja sama yang kuat dan lembaga PBB  guna "menghabiskan"  dana baik berupa pinjaman maupun  hibah dinegara yang dilanda bencana. Pemerintah yang  menjadi donor  bahkan kerap mencari sendiri  NGO internasional untuk menjalankan  operasi kemanusiaan yang dana dan progarmnya telah dirancang oleh pemerintah yang bersangkutan. Karena  itu,  NGO internasional dan lembaga-lembaga PBB yang sering melakukan operasi kemanusiaan tersebut cenderung didifinisikan oleh sebagian kalangan   sebagai  private voluntary  organizasation (PVO) atau organisasi voluntir swasta.  Misalnya dalam pengamatan yang dilakukan oleh Joseph Hanlon di Mozambique, ditemukan bahwa dalam banyak hal NGO-NGO internasional seperti World Vision atau Care Internasional berperilaku seperti lembaga-lembaga bisnis besar atau lembaga-lembaga transnasional yang mempunyai afiliasi di berbagai negara. Karena berperan sebagai bisnis transnasional, maka kepentingan NGO internasional adalah distribusi uang, distribusi makanan, bantuan darurat dan pelayanan.  Sementara untuk overhead cost lembaga,  mereka bisa mendapat dari bunga bantuan/grant yang diterima selain dari fundrisingnya sendiri .   Akibat minimnya koordinasi, sering kali  NGO atau lembaga PBB melakukan proyek-proyek dalam jumlah besar, tapi proyek-proyek tersebut tidak menjadi skala prioritas  kelompok masyarakat  sasaran yang dibantu.

               Keempat adalah persoalan "pesan sponsor". Banyak NGO internasional yang dalam operasinya sarat dengan pesan sponsor.  World Vision dalam operasi kemanusiaan di Mozambique   praktis menjadi pelopor pesan sponsor CIA (baca: pemerintah USA). World Vision terkenal sebagai lembaga kristen yang sangat anti komunis sehingga  World Vision   "dipakai" oleh lembaga donor untuk melawan pengaruh Frelimo yang dikenal beraliran sosialis. Bahkan dalam operasinya,  beberapa staf World Vision malah menyarankan agar Renamo (tandingan Frelimo)  mengambil alih tampuk pemerintahan yang sah dari Frelimo . World Vision juga dikenal mempunyai hubungan erat dengan rejim-rejim militer represif  di  Amerika  tengah.  Contoh lain adalah kehadiran Care  Internasional  (khususnya Care USA). Kehadiran Care  USA di Mozambique pada  tahun 80-an   jelas banyak membantu operasi CIA untuk memantau keadaan massa rakyat yang saat itu sangat mendukung program-program Frelimo.  Dalam banyak hal NGO-NGO ini memiliki  informasi yang lebih lengkap dibanding kelompok lain bahkan pemerintah setempat. Misalnya Care Internasional dalam  observasi Joseph Hanlon,  memiliki informasi mengenai keadaan sosial dan politik yang lebih lengkap dibanding dengan NGO lain atau bahkan pemerintah Mozambique sekalipun. Informasi-informasi ini tidak pernah didistribusikan kepada pihak lain termasuk pemerintah Mozambique, kecuali kepada pemerintah  USA sebagai sponsor saat itu.

5.      KASUS MESUJI 2011

Yulvianus Harjono/KOMPASWarga Mesuji menyambut kedatangan rombongan Komisi III DPR.
TERKAIT:
JAKARTA, KOMPAS.com- Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengungkapkan, dua petugas keamanan Pam Swakarsa dari perusahaan perkebunan sawit PT Sumber Wangi Alam (SWA) menjadi korban pemenggalan yang dilakukan oleh warga Mesuji. Keduanya bernama Manto (22) dan Saimun (26).
Peristiwa ini terjadi akibat bentrokan yang terjadi antara warga Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dengan Pam Swakarsa karena sengketa tanah, pada 21 April 2011. Ini diungkapkan Saud untuk penegasan kembali korban tewas hasil identifikasi sementara tim Polri ditempat tersebut.
"Dari peristiwa ini dua orang Pam Swakarsa yang dipenggal kepalanya," ujar Saud dalam jumpa pers di Gedung Humas Polri, Rabu (21/12/2011).
Selain dua orang Pam Swakarsa yang tewas, terdapat tiga karyawan lainnya juga yang bernasib sama. Mereka tak dapat menyelamatkan diri saat sekitar 400 orang warga Mesuji melakukan penyerangan terhadap 60 karyawan yang tengah berada di areal perusahaan. Penyerangan itu dilakukan karena warga tak terima karyawan perusahaan PT SWA melakukan panen di lahan sawit yang dianggap masih sengketa.
"Saat itu, dua orang warga Macan dan Indra Syafii naik motor mendatangi dan melarang untuk tidak dipanen, alasannya, itu masih sengketa. Maka timbul keributan," jelasnya.
Dua warga ikut tewas dalam peristiwa bentrokan ini. Total korban tewas dari peristiwa Mesuji di Mesuji Sumsel ini mencapai 7 orang. Sementara kerugian material yang ditimbulkan di antaranya dirusak dan dibakarnya 87 rumah warga, pembakaran terhadap 7 mobil tangki, 1 kendaraan motor dan 4 mobil, 2 truk dan 1 alat berat.



6.      Sejarah Hitam Indonesia Dari Tahun 1967-1999
1967 - 1998 
  • Korupsi merugikan negara : 15-35 Milliar USD
1965
  • Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat.
  • Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
 1966
  • Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
  • Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
  • Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967
  • Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
  • April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta .
  • Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969
  • Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana .
  • Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
  • Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
  • Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970
  • Pelarangan demo mahasiswa.
  • Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
  • Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
  • Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971
  • Usaha peleburan partai- partai.
  • Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
  • Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
  • Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972
  • Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973
  • Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .



1974
  • Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
  • Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975
  • Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
  • Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977
  • Tuduhan subversi terhadap Suwito.
  • Kasus tanah Siria- ria.
  • Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
  • Kasus subversi komando Jihad.
1978
  • Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
  • Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
  • Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980
  • Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang , Pekalongan dan Kudus.
  • Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negeri.
1981
  • Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.




1982
  • Kasus Tanah Rawa Bilal.
  • Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
  • Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta . Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
  • Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
  • Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984
  • Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
  • Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
  • Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
  • Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur
1985
  • Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.
1986
  • Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
  • Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
  • Kasus subversi terhadap Sanusi.
  • Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989
  • Kasus tanah Kedung Ombo.
  • Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
  • Kasus tanah Kemayoran.
  • Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari.
  • Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
  • Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991
  • Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda-pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992
  • Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaan-nya Tommy Suharto.
  • Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
  • Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994
  • Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberita-an kapal perang bekas oleh Habibie.
1995
  • Kasus Tanah Koja.
  • Kerusuhan di Flores.
1996
  • Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 19962. Kasus tanah Balongan.
  • Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
  • Sengketa tanah Manis Mata.
  • Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
  • Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamung-kas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkun-jung di sana.
  • Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
  • Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
  • Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.





1997
  • Kasus tanah Kemayoran.
  • Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998
  • Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
  • Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta , dua hari sebelum kerusuhan Mei.3. 
  • Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999
  • Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
  • Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.












BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
·         Dalam realita kehidupan bangsa ini, masih banyak terjadi pelanggaran HAM,  baik dilakukan ooleh warga negara terhadap warga negara ataupun negara terhadap warga negaranya  sendiri. Dapat dicontohkan seperti peristiwa pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penculiakan dan tindak diskriminatif serta pemaksaan kehendak dari yang kuat terhadap pihak yang tidak berdaya.
·         Bukan hanya penyelewengan uang negara saja yang dikatakann korupsi tetapi yang dikatakan korupsi itu antaralain yaitu perbuatan yang menghabiskan/ mengambil/  suatu barang atau jasa secara tidak sah dengan akibat merugikan seseorang maupun banyak, suatu lembaga dan sebagainya dengan contoh menerlambatkan diri bagi Guru masuk pada mata pelajarannya (korupsi waktu),  Mandi dengan memboros air (korupsi barang), dan berbagai contoh lainnya.
Melihat seluruh kenyataan yang ada,  dapat diambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Sekalipun terjadi perubahan ketika bangsa Indonesia memasuki masa reformasi, tetapi tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti : Telah terjadi krisis moral di Indonesia, Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang, Kurang adanya penegakan hukum yang benar, dan masih banyak sebab-sebab yang lain.

Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1.    Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2.    Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3.    Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4.    Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
       Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati manusia. Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan kebaikan Tuhan bagi umat manusia.


2.      SARAN
·         Jadi janganlah jikalau hanya masalah kecil itu di besar-besarkan hingga terjadi kericuhan yang dapat merugikan dan membunuh orang banyak.
·         Berlaku jujurlah pada diri sendiri juga pada orang banyak
·          Hindarilah perbuatan main hakim sendiri tanpa mencarii tahu  sebab dan akibat dari perbuatannya.
·         Dan mari bersama kita bangun Indonesia sebagai negri yang aman, negri yang adil dan negri yang sentosa.























Dafatar Pustaka

Sumber:
·         Buku Kerja Siswa Pendidikan Kewarganegaraan, SMA/MA, kelas X, penerbit MEDIATAMA, tahun 2012
·         Makalah kasus Korupsi dan upaya pemberantasannya di Indonesia, oleh Mulia Fathan, SMP INSHAFUDDIN, tahun 2010



Website’s:



Komentar

Postingan Populer